Cerpen "Malam Merah Jambu"

Oleh : Ti2n Maryati

Malam itu, di ruangan yang luas sekali tapi pengap akan kumpulan manusia yang tak kukenali, duduklah aku di antara mereka. Entah apa yang kami tunggu, sampai rela lesehan di lantai keramik yang dingin karena udara malam. 

Aula di entah berantah, kami terduduk lesu tanpa tahu harus apa. Yang kutahu, baris demi baris diminta berjalan berurutan menuju kotak yang ada di lantai atas sana. Masih panjang menuju giliran barisanku.

Mungkin ratusan jumlah kami yang seakan terlantar. Banyak orang bergumam "apa yang akan kita lakukan?"

"Apa yang bakal terjadi?"

"Mengapa tiba-tiba kita di sini?"

"Apa yang mereka lakukan di lantai atas?"

Banyak pertanyaan juga terpatri di kepala. Rasanya lelah sekali, seakan kita semua yang di sini telah berjalan berkilo-kilo meter hingga sampai di aula ini. 

Setelah sekian lama duduk lesu, akhirnya mendekat pula giliran barisanku untuk berjalan menyambung barisan yang seakan membuat kereta api tak berujung, kami mengikuti petunjuk arah seperti lampu berwarna merah yang terdapat di dinding-dinding, bentuk yang kami lihat adalah arah panah menuju lantai atas. 

"Adakah yang bisa jelaskan, kami itu sedang apa sebenarnya?" Pikirku yang ingin kulontarkan lewat suara. Tapi seperti biasanya, aku tak cukup berani berkata-kata.

Sekelebat di antara ratusan atau bahkan ribuan orang itu, aku mengenali sebuah wajah, wajah yang tak asing bagiku. Dari punggung dan tinggi badannya aku yakin dia adalah orang yang kukenal dengan baik. Dia baris lumayan jauh di depanku. Apa yang akan terjadi apabila aku menerobos antrean untuk mengejar orang itu? Apa aku akan dimarahi atau dicaci maki? Sungguh, lagi-lagi aku tak seberani itu untuk bergerak semauku. 

Tanpa sadar barisan kami sudah mulai menapaki lantai atas setelah menaiki eskalator yang mati itu. Aku melihat ada beberapa bilik di depan, seperti bilik untuk berfoto. Apa mungkin kita segini banyaknya mengantre hanya untuk foto saja? Bukankah kita semua punya alat yang canggih bernama Handphone itu?

Ternyata baru kusadari, handphoneku tak ada, bahkan semua yang ada di sini semakin seperti zombie, wajah-wajah lemas dan lesu, ditambah tanpa satu pun memegang handphone. 

"Apakah ucapanku waktu itu terjadi?" Ekspresiku mulai menciut takut.

Yah, aku ingat kalau di suatu hari aku pernah bilang "coba aja hidup tanpa handphone, bahkan tanpa listrik atau alat-alat canggih lainnya." Dengan entengnya kubilang begitu ketika mengobrol dengan muridku.

Aku baru menyadari juga kalau apa hanya aku sendiri di sini? mana teman-temanku? orang tuaku? bahkan murid-muridku? ataukah semuanya ada namun terhalang wajah-wajah asing ini? atau memang hanya aku saja?

Otakku sulit mencerna semua yang terjadi, yang pasti aku ingin berjumpa dengan orang yang kukenali di depan sana supaya aku tak merasa bingung sendirian. 

Banyak orang telah masuk ke bilik lalu keluar dengan wajah-wajah sumringah entah tiba-tiba sekali, seakan mereka menjadi orang yang berbeda. Apa aku juga bakal seperti itu?

Tibalah barisan orang yang kukenal hendak masuk ke bilik-bilik, tiap bilik diisi oleh satu orang, kalau dihitung mungkin ada sekitar 10 bilik. Waktu yang dibutuhkan tiap orang sangatlah singkat, tidak lebih dari 5 menit lalu berganti orang. 

"Sebentar, bukankah seharusnya dia sedang tidak ada di kota ini? Mengapa dia ada di sini?" Pikirku setelah dia orang yang kukenal masuk ke salah satu bilik, mataku tak pernah teralihkan dari bilik itu. 

Jujur saja, dia yang kumaksud adalah orang yang kukagumi selama ini, hanya saja lagi-lagi aku tak cukup berani untuk sekadar melepaskan penatnya merasakan sendiri. Manusia jenis apa aku ini?

Dia mulai keluar dari bilik, tapi wajahnya tak sebahagia orang lain. Apa yang salah? Terlihat setelah masuk ke bilik orang-orang lain jelas dengan wajah berseri saling bersosialisasi dan bergerombol seakan menemukan teman-teman baru. Mereka tidak lagi berbaris rapih seperti di lantai bawah tadi. 

Begitu juga dengan dia yang sedang mengobrol dengan orang-orang, bahkan ada perempuan yang cantik parasnya, apa-apaan sih ini, di situasi genting dan tak jelas begini malah sempat-sempatnya cemburu?! Aneh-aneh saja, lagian siapalah diri ini.

Ayolah segera datang bagianku, supaya aku tahu di dalam sana ada apa dan ngapain saja. Oke sebentar lagi giliranku, aku hendak masuk ke bilik yang kainnya warna merah jambu, bilik yang sama dengan yang dimasuki oleh dia. Sengaja ku pilih bilik ini karena ingin merasakan hal yang sama sepertinya. 

Tahukah apa yang kulihat, ya foto-foto polaroid tertempel di tembok bilik tadi, tiap orang mempunyai dua kesempatan untuk foto, tiap orang menempelkan pula 2 foto dengan wajah yang berbeda. Foto pertama terlihat ekspresi sekarang yang tak karuan dan yang kedua adalah ekspresi yang tersenyum lepas seakan orang yang berbeda.

Arahan yang muncul di layar depan ialah:

"Anda memiliki 2 kesempatan untuk berfoto. Foto pertama yaitu wajah anda yang sekarang yang penuh dengan kesedihan, kebingungan, dan segala rasa sakit yang kalian derita. Klik kamera untuk memulai." Aku mencoba mengklik kamera itu dan berfoto dengan wajah yang apa adanya. Lalu muncul arahan selanjutnya.

"Silakan pilih foto yang kedua apabila kalian ingin lebih bahagia, maka akan kuberi kebahagiaan itu dan anda akan kehilangan ingatan-ingatan kelam beserta orang-orang di dalamnya. Klik kamera apabila anda ingin bahagia." 

Aku melihat foto-foto di tembok kembali, ternyata ada 1 titik yang membuatku terpaku yaitu foto laki-laki berjaket dan berambut lumayan panjang, ya foto laki-laki yang aku kagumi itu tertempel di sana. Tapi foto itu hanya ada 1, ekspresi riang gembira yang harusnya ada di foto kedua itu tidak ada. Kenapa bisa begitu?

Setelah kumenyadari hal itu waktu di layar menunjukkan 5 menit akan berakhir dalam hitungan detik. Aku bingung harus mengklik kamera yang kedua atau sudah saja seperti yang dia lakukan. Lalu, waktu pun habis. Foto pertamaku kutempelkan di dekat dengan fotonya. Aku pun keluar. Mencoba mencari dia kembali. 

Langkahku kupercepat, bahkan setengah berlari mencari di tiap titik, di tiap kumpulan manusia yang entah penuh dengan tawa yang asli atau palsu itu.

Aku mulai melihat punggungnya lagi, rambutnya yang lumayan panjang berayun-ayun. Aku terus mengoyak ribuan orang itu untuk bisa menggapainya kembali. Aku berencana kalau saat ini adalah penghujung kehidupan maka aku ingin sekali saja berani berkata, berani mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya. Walau aku tak tahu apakah rasa itu akan terbalas atau justru kandas. Tapi apa pun kekecewaan yang akan terjadi, bukankah itu adalah resiko kita yang berharap pada manusia? Aku ingin berteriak meneriaki namanya dari jarak yang lumayan jauh ini agar ia setidaknya bisa berhenti dan menunggu langkah kecilku mendekatinya. 

Kulihat, ia berjalan semakin cepat di depan. Ia seakan tahu akan kemana langkah kaki itu membawanya. Sepertinya, ia menuju ke arah pintu kayu yang kupikir itu adalah pintu keluar aula ini. Biar kuikuti dia terus.

Pintu itu mulai terbuka, punggungnya mulai bercampur cahaya silau berwarna merah muda dari luar. Kakiku kuayunkan lebih cepat dari sebelumnya, sampai akhirnya kubisa menyusulnya. Tepat di belakang punggungnya beberapa langkah.

"Kinan?" Suaraku mulai kulontarkan.

Dia mulai berbalik menatap ke arahku.

"Awan." Lirihnya memanggilku.

Wajahku mulai basah karena air yang menetes dari kelopak mata. Sedang ia malah tersenyum.

"Akhirnya, aku sampai padamu." Balasku berjalan semakin mendekatinya.

"Mari kita pulang." Ajaknya padaku.

"Pulang ke mana?" Balasku kembali.

"Pulang ke rumah kita. Biar kuantar kau pulang." Jawabnya masih dengan tersenyum. 

"Kinan, mengapa yang keluar hanya kita berdua? Mengapa di luar langitnya berwarna merah seakan langit senja, bukankah sebenarnya sudah malam?" Sambil kutatap langit yang berwarna saga itu.

"Aku pun tak tahu apa yang terjadi, yang aku tahu aku tak masalah hidup begini adanya. Aku ingin terus menjadi aku bukan jadi orang lain." Balasnya menatap langit sesekali menatapku yang masih berlinang air mata. 

"Kinan, apabila ini adalah akhir kehidupan. Aku hanya ingin bilang bahwa perjuanganku menahan perasaan ini telah usai, aku sudah terlanjur lelah menjadi manusia yang selalu menyembunyikan segala perasaannya. Aku ingin mengatakan kalau pernah ada aku yang mengagumimu dari lama dan dari jauh. Setidaknya aku ingin melepaskan penat berkepanjangan yang kubuat sendiri selama ini. Terima kasih dan biar kupulang sendiri." Aku mengusap tangisku dan hendak menuruni tangga menuju pelataran aula yang penuh dengan warna merah jambu.

"Terima kasih atas perasaanmu, justru kamulah alasanku untuk tidak memilih berfoto yang kedua kalinya." Jawab Kinan sambil jalan di sampingku.

Lantas kami hanya berjalan di pelataran sambil saling tersenyum, kaki kami menapaki jalan yang sepi sekali, seakan jalan itu mengantarkan kami ke ujung dunia yang warna merahnya tak ada habisnya. 

Lalu tiba-tiba, suara terdengar di telingaku. Suara alarm Handphone yang menandakan waktu subuh. Aku pun bangun, sambil diam sejenak mencerna apa yang tadi dialami. Apa tadi mimpi? atau kenyataan?

Apabila mimpi, mengapa begitu jelas sekali. Mengapa indah sekali, rasanya apabila endingnya seperti itu maka aku tak ingin bangun dan melanjutkan perjalanan tadi entah menuju mana.

Lalu di handphone itu terlihat notifikasi darinya, dari orang yang sekarang semakin jauh sekali di belahan bumi lain. Apa mungkin akan ada keberanian sosok aku yang seperti di mimpi tadi? Apakah akan berakhir bahagia? Entahlah....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENGENAL LEBIH DEKAT PENATA WAYANG GEGESIK, CIREBON

SOSOK DALANG WAYANG KULIT GEGESIK