MENGENAL LEBIH DEKAT PENATA WAYANG GEGESIK, CIREBON

Dokumen pribadi penulis

Mengenal Lebih Dekat Penatah Wayang Gegesik 

Oleh : Titin Maryati


        Sekitar dua tahun yang lalu saya yang baru lulus SMK mengunjungi sebuah rumah sederhana, lebih tepatnya di Gegesik Kulon dekat dengan sungai. Tempat tinggalnya Ki Sawiyah, seorang penata wayang yang sampai sekarang tak lekang oleh zaman. Saya memiliki ketertarikan terhadap seni, sehingga saya sangat salut terhadap kecintaan beliau pada seni terutama seni menata wayang. 

        Saat ini saya mengunjungi Beliau lagi tetapi dengan keadaan yang berbeda. Posisi saya sebagai mahasiswi yang sedang melaksanakan KKN-DR, KKN yang dilaksanakan dari rumah akibat pandemi belum musnah. Tujuan saya kembali menemui beliau yaitu selain ingin mengetahui kabar Beliau, saya pun ingin tahu apakah harapan Beliau yang mungkin telah diketahui banyak orang itu sudah terwujud atau masih menjadi angan.

        Kini, Beliau berusia 72 tahun pada bulan maret lalu. Ketika ditemui, Beliau di teras rumah yang kebetulan matahari belum meninggi sehingga tirai dari spanduk belum diturunkan untuk menghalangi silau sinarnya. Akibat matanya yang sudah berawan, Beliau memakai kaca mata supaya bisa dengan jelas melihat detail dari wayang yang ia tatah. Ki Sawiyah masih sama seperti dua tahun yang lalu, bercerita dengan nada semangat, dengan wajah yang memunculkan rasa bangga, dan dengan kisah yang runtut dalam menceritakan perjalanan hidupnya hingga menjadi penata wayang. 

        Ketika Beliau masih kecil, Beliau hanya mengenyam sekolah rakyat dan beliau terlahir dari orang tua yang bukanlah seorang penata wayang. Banyak orang berkata saat itu, bahwa suatu bakat harus turun berdasarkan keturunan, sehingga Ki Sawiyah yang masih kecil kerap kali dimarahi karena dilarang untuk belajar menata wayang. Ki Sawiyah pernah berkata, bahwa saat itu termasuk zaman kebodohan, zaman jahiliyah yang mempolitisi agar yang bukan keturunan tidak bisa mempelajari. Tetapi beliau memiliki niat dan kemauan yang besar, sehingga Beliau percaya "menjadi ahli bukanlah harus dari keturunan, tetapi atas dasar kemauan yang besar."

        Pada awal-awal Beliau belajar menata wayang, beliau menggunakan kertas semen yang berlapis-lapis hingga menjadi tebal dan bisa ditatah. Beliau belajar dengan cara memerhatikan, menanyakan, dan mempraktikkan sebagaimana yang dilakukan gurunya, kata beliau "Belajar tanpa guru itu keliru, karena jika salah tidak ada yang memberi tahu". Semakin tumbuh dewasa semakin tumbuh pula rasa cinta terhadap menata wayang.  

        Menjadi generasi keempat dalam meneruskan menata wayang adalah suatu tanggung jawab bagi Ki Sawiyah untuk mempertahankan keaslian dari wayang kulit Cirebon, sampai sekarang pembuatan wayang kulit Beliau belum terpengaruhi oleh budaya luar. Beliau selalu memprioritaskan membuat wayang yang mengunggulkan kualitas dibandingkan kuantitasnya walaupun menata wayang menjadi mata pencahariannya, kecintaannya terhadap menata wayang tak membuat beliau risau terhadap uang yang didapatnya karena tujuan awalnya ialah melestarikan budaya Cirebon.

        Beliau selalu membuat wayang kulit ketika ada yang memesannya, wayang yang Beliau buat diperuntukkan sebagai koleksi pribadi atau hiasan, tidak untuk pertunjukan dalang. Waktu yang dihabiskan dalam membuat satu wayang pesanan terkadang tidak menentu karena harus dengan keadaan dan perasaan yang bagus, juga tergantung seberapa rumit motifnya dan seberapa besar ukurannya, begitu pula dengan soal harga. 

Dokumen pribadi penulis

        Alat yang digunakan dalam membuat wayang lumayan susah didapat, seperti kulit kerbau betina yang digunakan karena lebih kuat dan kualitasnya yang bagus. Walaupun sekarang bisa membeli kulit kerbau dengan menggunakan jasa online, tetapi Ki Sawiyah memilih lebih baik untuk datang secara langsung ke asal penjual supaya lebih pasti. Tatah yang digunakan ada yang dari pemberian dan buatan sendiri, tatah memiliki berbagai jenis dan fungsi seperti pembubuk, penatas, dan lainnya. Untuk mendukung dalam menatah, tangan kanan Ki Sawiyah memegang palu kayu supaya tatah bisa menancap ke pola yang terlukis di kulit kerbau yang telah dikeringkan, lalu sesekali tatah dicelupkan ke sabun supaya tidak licin. Ciri khas yang membedakan wayang Ki Sawiyah dengan wayang orang lain lain ialah terdapat 2 tatah atu lubang yang terletak di bawah atau posisi kaki wayang. Setelah selesai menatah berlanjutlah ke proses sungging, menggunakan cat serbuk dan kuas dengan cara yang masih tradisional, tujuannya sama untuk mempertahankan keaslian sebagaimana yang diamanatkan Ki Maruna, gurunya yang berbunyi  "Kita titip keaslian wayang kulit Cirebon mung sirah".

        Beberapa kelompok orang dari Universitas pernah mengunjunginya untuk penelitian pembuatan wayang. Kerap kali muncul pertanyaan mengenai dokumentasi pembuatan wayang, Ki Sawiyah selalu menjawab, bahwa belum ada buku yang menjelaskan mengenai menata wayang Cirebon khususnya yang dilakukan oleh Ki Sawiyah, tapi mungkin di luar sana, di kota lain yang sudah terdapat banyak Universitas yang mengarah ke bidang seni, tata cara menata wayang bisa dipelajari dengan mudah karena terdapat jurusan khusus tersebut. 

        Raut wajah Beliau berubah ketika membicarakan persoalan perkembangan seni di Cirebon, karena sudah banyak kesenian yang punah, dengan alasan tidak ada yang mau meneruskan dan dimakan oleh zaman. Hal itulah yang menjadi kerisauan hati Ki Sawiyah, Beliau takut pembuatan wayang kulit ini tidak ada yang meneruskan hingga akhirnya bisa punah, walaupun masih ada pemuda yang kadang datang untuk belajar, namun di mata beliau belumlah ada sosok yang tepat untuk dipercaya serta bisa berkomitmen dalam meneruskan bidang tersebut. 

        Harapan dari dua tahun yang lalu hingga sekarang di masa pandemi, belum adanya perbedaan. Ki Sawiyah masih mengharapkan kepedulian dan dukungan dari pemerintah. Begitu pun juga harapan terhadap para pemuda pemudi supaya bisa meneruskan pembuatan wayang kulit ini atas dasar kecintaan dan ketekunan dari dalam diri. Beliau pun siap mengajarkan apabila ada yang ingin belajar mengenai menata wayang di rumahnya. Semua itu, beliau lakukan demi kelestarian budaya lokal Cirebon. 

        

Dokumen pribadi penulis

    Saya pribadi merasa senang bisa mendengar kisah Beliau, semoga akan ada penerus yang tepat dan amanah dalam menata wayang Cirebon ini. Semoga selalu lestari dan abadi segala hal yang tulus, segala karya yang lahir dari tangan-tangan terampil, segala rasa cinta terhadap suatu hal hingga mampu mempertahankannya dalam hidup yang tidak pasti ini. 

Terima kasih, sekian dari saya, yang bukan siapa-siapa. 








        

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen "Malam Merah Jambu"

SOSOK DALANG WAYANG KULIT GEGESIK