HARAPAN MAESTRO PENATAH WAYANG CIREBON
Assalamu’alaikum Wr Wb
Saya
kembali teman-teman setelah berhibernasi dan beradaptasi dengan keadaan yang
semakin ke sini semakin menjadi-jadi, semakin harus ekstra kuat dalam berusaha
dan berjuang melawan kenyataan yang kadang tidak sesuai dengan harapan heuheu
jadi curhat… Saya ingin menuliskan sebuah penelitian yang saya lakukan ke
lapangan hihi dan ini fakta, aslinya mah saya hanya berniat untuk belajar mengenai suatu seni,
namun tidak ada salahnya kan jika saya menanyakan rasa penasaran saya, karena
kalau sudah penasaran tetapi tidak diutarakan nanti tidak bisa tidur malamnya
haha… peribahasanya sambil menyelam minum sirup nata de coco pake es cream sama
Gie, setelah itu ke lembah kasih mandalawangi, baca puisi sama-sama hahaha
mulai ngelantur, maklumin saja karena saya suka meghibur diri sendiri. Oke langsung
saja, semoga dibaca, disimak baik-baik dan renungi dan ambil suatu hal yang
positif dan jangan lupa kasih kritik dan saran anda untuk kemajuan tulis
menulis saya yang masih pemula ini, saya tunggu kritik dan sarannya… Selamat
menyimak 😁😁
HARAPAN
MAESTRO PENATAH WAYANG CIREBON
Seni ada bukan untuk dilenyapkan, namun untuk
dilestarikan “ini bukan soal keturunan, tetapi soal niat dan kemauan yang besar”.
Begitulah keyakinan Ki Sawiyah, seorang maestro pelestari dan penatah wayang
Cirebon, yang berumur 69 tahun. Dalam keterbatasan matanya yang sudah berawan
atau dikenal dengan katarak itu tidak bisa mengurangi niat dan ketelitiannya
dalam membuat detail wayang kulit Cirebon.
Dengan bantuan kaca mata Ki Sawiyah terus menatah untuk
memastikan bahwa kesenian yang beliau tekuni tidak hilang ditelan zaman . dan karena
menatah wayang sudah menjadi mata pencahariannya.
Di rumah yang sederhana Ki Sawiyah dengan tekun berjam-jam
membuat wayang kulit Cirebon, ketika matahari sedang terik-teriknya maka
sepanduk yang dibuat seperti layar diturunkan untuk menghalangi cahaya matahari
yang begitu silau. Di tangan kanan yang sudah keriput tergenggam sebuah palu
yang terbuat dari kayu, dan tatah yang terbuat dari terali besi velg motor
berada di tangan kirinya. Alat tersebut digunakan untuk membuat atau menatah
wayang dengan teliti dan hasil yang sempurna.
“Beberapa sekelompok orang dari universitas pernah ke
sini untuk penelitian pembuatan wayang” ungkap Ki Sawiyah yang ditemui sedang
menatah pada, Minggu (24/6/2018), di rumahnya, tepat di pinggir kali Desa
Gegesik Kulon, Kecamatan Gegesik, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat.
“Membuat wayang tidak menentu selesainya kapan, karena
dalam pembuatannya juga harus dengan keadaan dan perasaan yang bagus, agar
hasilnya pun bagus kalau rasanya sedang tidak bagus saya menyelingi dengan
aktivitas lain, seperti mengecat atau sering disebut menyungging. Karena tidak
bisa dipaksakan” sambung Ki Sawiyah sedikit tersenyum ketika ditanya berapa
lama proses pembuatannya.
“Karena wayang Ki Sawiyah itu bukan wayang kuantitas,
tapi wayang kualitas, yang mengutamakan mutu. Saya awalnya tidak mengerti apa
maksud kualitas, kalau kuantitas saya mengerti” ujar Ki Sawiyah meniru ungkapan
dari orang Banyumas yang pernah ke rumahnya.
Terdapat pertanyaan dari sekelompok mahasiswa yang pernah
berkunjung ke rumahnya untuk penelitian mengenai buku cara pembuatan wayang,
namun Ki Sawiyah meyakinkan bahwa di Cirebon tidak ada bukunya, karena ilmu
yang dipelajari dari orang terdahulu diresapi ke dalam hati. Berbeda dengan
sekarang yang sudah terdapat sekolah untuk mempelajari seni-seni.
“Sebenarnya zaman dulu, ketika saya ingin belajar bikin
wayang itu saya dimarahi, karena harus keturunan. Dan itu termasuk zaman
kebodohan, zaman jahiliyah, mempolitisi agar tidak mempelajari. Saya bukan dari
keturunan pembuat wayang, tapi saya mempunyai niat dan kemauan yang besar”
ungkap Ki Sawiyah kembali menanggapi bahwa bukan dari keturunanlah sebuah
bidang bisa dikuasai, tetapi dengan niat dan kemauan yang besar bisa menjadikan
ahli.
“Di Cirebon sudah banyak kesenian yang punah, jadi saya
ingin tetap mempertahankan kesenian ini agar tidak punah ditelan zaman, karena
sudah diakui dunia” sambung Ki Sawiyah kembali. Ketertarikan dalam pembuatan
wayang kulit Cirebon berawal dari rasa kecintaan dan penasarannya dalam
pembuatan wayang, yang awalnya Ki Sawiyah membuat wayang menggunakan kertas
semen yang berlapis-lapis sehingga menjadi tebal. Dan dengan cara melihat dan
bertanya lalu mempraktekkan itu bisa mempelajari karena segala sesuatu pasti
ada gurunya. “Belajar tanpa guru itu keliru, karena jika salah tidak ada yang memberi
tahu” kata Ki Sawiyah kembali sesekali mencelupkan tatah kesabun untuk menjadi pelicin
agar tatah mudah dicabut.
Tatah yang digunakan ada yang dari pemberian dan ada yang
dibuat sendiri, setiap tatah memiliki fungsi yang berbeda-beda seperti
pembubuk, penatas dan lainnya, lalu jika
sudah selesai berlanjut ke proses pengecatan atau sungging, dengan cat serbuk dan
dengan cara yang masih tradisional, untuk mempertahankan keaslian sesuai
keanjuran Ki Maruna gurunya. Sedangkan kulit yang digunakan adalah kulit kerbau
karena kualitasnya yang bagus. Dahulu kulit kerbau bisa didapatkan dengan
membeli langsung pada tempatnya, sedangkan sekarang dipermudahkan dengan
pembelian secara online. Ki Sawiyah tetap mempertahankan keaslian pembuatan
wayang karena amanat dari gurunya Ki Maruna semasa masih hidup yaitu “Kita titip keaslian wayang kulit Cirebon
mung sirah” kata Ki Sawiyah meniru ucapan gurunya dengan suara tegas dan
berhenti menatah.
Karena rasa cintanya terhadap pembuatan wayang, Ki
Sawiyah tidak pernah risau mengenai uang yang didapatnya, karena sejak awal ada
niatan untuk melestarikan seni Cirebon. Yang dirisaukan justru dengan adanya
kemungkinan punahnya wayang kulit Cirebon. Ki Sawiyah yang seorang maestro penatah
wayang kulit Cirebon memiliki harapan, agar pemerintah lebih peduli serta memberi
dukungan, bukan hanya untuk kesenian membuat wayang saja, melainkan untuk
kesenian-kesenian tradisional lainnya pula. Serta untuk masyarakat khususnya
para pemuda, agar bisa meneruskan kesenian yang ada di desa asalnya dengan niat
belajar dan menekuninya. Karena jika tidak ada upaya untuk melestarikan budaya,
makan zaman akan menelannya. Karena itu pula tidak ada segan bagi Ki Sawiyah
untuk mengajarkan menatah wayang kulit Cirebon tanpa biaya, demi kelestarian
kesenian budaya di Cirebon. (TITIN
MARYATI)
Semoga apa yang saya sampaikan bisa bermanfaat dan
memberikan dampak positif, do’akan agar saya tetap konsisten dengan apa yang
saya niatkan. Jika ada yang ingin disampaikan atau mengenai kritik dan saran,
anda bisa komentar atau langsung ke email saya. Nantikan cerita saya berikutnya…
Terima kasih yang sudah menyempatkan mampir 😀
Bermimpilah, tapi bukan
dengan tertidur
Wassalamu’alaikum Wr Wb
Komentar
Posting Komentar