(CERPEN) - KEBAHAGIAAN WA IYEM

        Melalui malam yang panjang, suatu pagi datang dengan bisikan burung kecil berterbangan ke pucuk pohon mangga di sekitar rumah. Lautan padi merunduk, menopang embun yang mengkilap jika dilihat dari jauh. Pagi yang terang, membawa mereka, para petani pergi ke kebunnya. Tetapi, ketenangan itu tidaklah lama untukku karena suara nyaring dari musik box mulai mengiming-iming dan lantang dari rumah bambu di samping rumahku. Suaranya jelas yaitu tarling Baridin dan Ratmina yang sering aku dengar, bahkan aku hapal dialog-dialog tarling bahasa Jawa yang terkenal pada zamannya itu. Sedangkan di belakang rumahku juga mengaktifkan musik box dengan nyanyian biduan yang mengalun-alun melengking, itulah dangdut.

        Entah mengapa daerah rumahku bising karena mereka memiliki musik box, atau mungkin diriku saja yang tidak nyaman dengan putaran audio mereka. Aku masih kuliah, kuliah daring akibat virus corona belum musnah, akibatnya aku sering menghabiskan waktuku di rumah, entah kuliah atau pun tidak. Karena itu aku butuh suasana yang santai dan tenang, hanya saja keduanya tidak kudapatan dengan baik. Aku memikirkan kembali jika ku keluar melihat bagimana wanita berumur 60 tahunan bernama Iyem senang memutar musik tarling atau pun lagu dangdut, sampai aku sering memerhatikan gerak geriknya. 

        Ketika beliau menyalakan musik box nya tak sedikit tetangga merasa terganggu. “kebiasaan nggal anu muter musik box (Kebiasaan selalu saja putar musik box)” ungkap tetangga, atau seperti ini jika wa Iyem mulai menyanyi menggunakan mikropon yang beliau punya. “wis tua tapi bli isinan (sudah tua tapi nggak malu)” seperti itulah keluhan tetangga. Apalagi saat malam hari wa Iyem menyanyi dengan mikroponnya lagi, pasti tetangga yang tidur merasa terganggu. Kulihat senyum yang mengembang di wajah yang mulai penuh kerutan itu, sebenarnya apa yang beliau rasakan, aku penasaran. Setiap kali orang lewat di depannya entah kenal atau tidak, pasti beliau sapah atau menanyakan “gapan mendi? (mau kemana)”. Pasti tetangga yang melihatnya ada saja yang menertawakannya “bli kenal gah ditakoni (nggak kenal juga ditanya)”. “wa Iyem iku pengen dadi penyanyi pas enom e (wa Iyem itu ingin jadi penyanyi waktu mudanya)” ungkap ibuku yaitu adik wa Iyem ketika aku tanya di suatu waktu. 

        Pantas saja beliau senang menyanyi hingga lupa keadaan sekitar. Tapi dari kesenangan itu, tak jarang juga aku menyaksikan wa Iyem menangis, entah alasan yang jelasnya seperti apa. Lagi-lagi mengundang banyak cibiran “wa Iyem cengeng”, memang, aku menilai juga begitu. Beliau cengeng, melihat ponakan yang di mongmong menangis beliau ikut menangis, melihat adik laki-lakinya sakit-sakitan, beliau menangis, tetangga mengomentari kesalahannya beliau menangis. Wa Iyem adalah orang yang perasa dan lembut. 

        Wa Iyem menyukai keramaian, ketika ada pentas organ tunggal yang letaknya tidak jauh dari rumah, beliau pasti ikut serta entah menonton atau pun menyanyi dan berjoget di panggung. Sebagai keponakannya, aku tidak bisa melarang beliau, aku hanya membiarkan saja yang ingin beliau lakukan. Tetapi tidak sedikit dari mereka yang menyaksikan ikut tertawa melihat tingkah wa Iyem dan tidak sedikit pula yang mencibirnya, menertawakannya bukan karena salut akan kemampuannya tetapi karena kelakuan wa Iyem yang tidak kenal malu. Wa Iyem yang memiliki tubuh lumayan gembul tetap melakukan hal yang dia sukai melenggak lenggok di atas panggung, berjoget bersama biduan. 

        Sudah lama aku memerhatikannya, aku tipe anak yang tidak berani mengungkapkan perasaan, pujian, perhatian, atau pun mengatakan bagaimana keadaannku sekarang secara terang-terangan, karena aku termasuk pemalu. Aku lebih suka memerhatikan sesuatu hal dari kejauhan, memikirkan, merenungi, dan merasakan banyak hal secara diam-diam. Makanya aku tidak ingin mengatakan apa yang seharusnya aku katakan unuk wa Iyem. Aku hanya bisa memerhatikannya sejauh ini. Aku bukanlah ahli dalam membaca wajah dan gerak gerik seseorang, tetapi aku hanya menebak-nebak dari apa yang aku amati saja beberapa waktu. Dari pengamatanku, wa Iyem adalah orang yang merasa bahwa dirinya kesepian, ingin menghibur dirinya dari kehampaan hidupnya, dari kekosongan tempat bernama hati. Beliau wanita berumur 60 tahunan yang merasa kesepian di dunia ini. Saat aku menyadarinya, aku hanya bisa memikirkan ulang bagimana bisa sepi itu ada dalam kehidupannya. Saat ini aku mulai menangis mengingatnya. 

        Dahulu, wa Iyem memiliki suami dan anak laki-laki. Suaminya pintar berbahasa Sunda dan mudah akrab dengan banyak orang, aku menyukai sifat wa Ani, sebutanku pada suami wa Iyem. Beliau selalu melucu semasa hidupnya, semasa SD sampai SMP beliau mengajarkanku berbahasa Sunda jika terdapat tugas sekolah. Dan anak laki-lakinya yang sangat disayangi wa Iyem, ternyata tidak membalas jasa-jasa wa Iyem, anaknya banyak melakukan kekerasan terhadapnya baik melalui perkataan maupun perbuatan. Perbuatan anaknya selalu membuat masalah, dia memiliki banyak istri dan anak yang tidak bisa ia nafkahi semuanya, dia suka mabuk-mabukan, dan membuat wa Iyem dan wa Ani susah hingga terluka. 

        Sampai pada saat wa Ani wafat, wa Iyem begitu terpuruk karena baginya wa Ani adalah orang yang sangat memahami dirinya. Selang beberapa bulan kematian merenggut anak yang ia sayangi dikarenakan overdosis minuman keras dengan banyak campuran, aku menyaksikan sendiri bagaimana terpukulnya seorang wa Iyem yang tetap tulus mengampuni kesalahan anaknya di saat-saat terakhir. Aku ingat bagaimana wa Iyem mengelap badan anaknya di detik-detik terkahir hidup anaknya yang saat itu merasa sekujur tubuhnya panas. Tahun demi tahun telah terlewati, tetapi aku rasa, kesedihanya masih terpatri. Hingga sekarang wa Iyem merasa tidak ada yang memahami diri wa Iyem, tidak ada yang memaklumi tingkah wa Iyem yang seperti kekanak-kanakan. Tidak ada yang menghiburnya seperti wa Ani dahulu.

        Para tetangga yang terus merasa resa atas tingkah wa Iyem telah kutemukan jawabannya yaitu bahwa wa Iyem merasa kesepian di dunia ini. Jika ku boleh katakan, sebenarnya wa Iyem masih memiliki banyak orang yang menyayanginya, adik dan kakak nya, keponakan-keponakannya, tapi wa Iyem memiliki sisi tertutup juga, beliau tidak menceritakan keseluruhan kesakitannya pada kami. Kebahagiaan wa Iyem ialah ketika beliau melakukan apa yang beliau sukai, memutar musik box yang berisi tarling Baridin dan Ratmina, lagu-lagu dangdutnya, dan mikroponnya yang selalu digunakan untuk menyanyi. Aku memahami, bahwa wa Iyem menjadi wa Iyem, beliau menjadi diri sendiri dalam menghibur dirinya, beliau ingin keluar dari rasa sepinya, beliau periang, memiliki impian menjadi penyanyi di masa mudanya, sekarang beliau dengan bebas menyanyi, dan menikmati masa tuanya. Beliau tidak kesepian lagi. 



Cirebon, 08 November 2020
Oleh :  Ti2n Maryati

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen "Malam Merah Jambu"

MENGENAL LEBIH DEKAT PENATA WAYANG GEGESIK, CIREBON

SOSOK DALANG WAYANG KULIT GEGESIK