LUBIS

    


 LUBIS

 “Aku pernah sekali membunuh seseorang. Dengan sepenuh hatiku.”


      Hidupku penuh kebencian diri sendiri, melakukan segala hal tanpa tahu arah angin membawaku pergi. Hal bodoh yang kurasakan akhir-akhir ini adalah membiarkan mulutku makan, mataku terpejam, dan menghirup udara kota yang sebenarnya menyegarkan, sebegitu egoisnya. Banyak hal telah berlalu, aku seakan menjadi manusia linglung dari dunia yang hanya seluas langkah kaki ini. Tak kupantas menerima ketenangan yang diberikan Tuhan dan semesta. Tak mengapa segala nyawa meneriakiku orang yang tidak tahu terima kasih, tidak bersyukur atau pun lainnya. Karena aku tak tahu bagaimana perasaanku sendiri.

           Selama ini, hatiku selalu gelisah sehingga menutupiku dari keindahan dunia. Mimpi buruk sudah memenuhi sebagian dari hidupku, mimpi mengenai rasa bersalah dan seduh sedan balas dendam, merah darah di selimut putih, darah mengucur di dada seseorang, pisau berkilat yang kupegang, suara erangan dan tangisan. Tanganku sendiri bahkan tak sanggup sebatas menopang daguku, ia hanya ingin memegang sembilah pisau untuk membelah nadiku, mengoyak dadaku, dan merobek pipiku sendiri tanpa rasa takut.

            Nyawaku berada di ambang hidup dan mati, bahkan sudah mati rasa lebih dulu. Pernahkah kau merasa dirimu penyebab orang lain mati? Melepaskan yang seharusnya dipegang dengan erat, berjalan yang seharusnya beriringan malah kuusir dari jangkauan. Orang macam apa yang sanggup menelantarkan yang terkasih pergi jauh, jauh sekali hingga ke dimensi lain.

            Ini tentang sepuluh tahun yang lalu, ketika kumerasakan hidupku sangat indah karena memilikinya. Dia adalah sahabat kecilku yang paling kusayang melebihi kedua orang tuaku. Dia selalu di sisiku ketika kedua orang tuaku hilang rasa peduli kepadaku karena terlalu banyak bekerja, bahkan ketika kumerasa seisi dunia meninggalkanku. Hatiku melambung tinggi ke awan ketika dia merasa harus di sampingku bahkan di masa depan. Bayangkan, seberapa besarnya bahagiaku saat itu.

            “kau benar-benar tak bisa menjaga diri sendiri, Aruna.” Ungkapnya ketika aku terjatuh dari sepeda. Namaku Aruna, waktu itu kami berumur 12 tahun, masa di mana kami sering melihat kembang api di menara sambil melihat bintang.

“apa boleh buat, aku tercipta seperti ranting, mudah patah.” Balasku sedikit tertawa padahal di dengkulku terdapat darah mengucur.

“kalau gitu, aku akan menjaga ranting itu sampai di masa depan.” Dengan senyum yang tulus itu, dia membalut lukaku dengan bajunya, sekaligus membalut luka hatiku dengan hatinya yang hangat. Aku hanya menatapnya dengan menganguk “emm.”

Tahukah bagaimana rupa sahabat kecilku itu? Dia memiliki kaki yang lebih panjang dariku makanya dia selalu mengejekku dengan sebutan kaki pendek, dia memiliki senyum dengan sedikit cekungan di pipinya, alis yang tebal, kedua mata yang di dalamnya ada galaksi, rambutnya lumayan bisa diikat, dia tak banyak bicara, tak banyak bertingkah, jika di drama idola mungkin dia peran utama yang memiliki hati sedingin es, dia berat tangan untuk para perempuan yang ingin mencari perhatiannya kecuali kepadaku. Dia pintar, suka memainkan gitar, dan melukis. Dia makhluk yang tergolong sempurna di mataku. Sebenarnya pujian itu semua yang ingin kukatakan padanya saat itu. Saat dia mempertanyakan pendapatku tentangnya.

“Aruna, menurutmu aku orang yang seperti apa?” Tanyanya ketika kami berdua hendak berpisah di persimpangan jalan menuju rumah sehabis pergi tamasya dengan kawan-kawan sekolah.

“kamu itu, es batu di kutub utara.” Jawabku dengan bercanda.

“hah, itu saja?” Tanyanya lagi merasa tak senang.

“kamu itu kaki tanganku, haha.” Jawabku lagi masih bercanda.

“apa maksudnya?” Ungkapnya semakin jengkel.

“iya karena kamu selalu bisa diandalkan. Intinya, kamu itu milikku. Sudahlah aku ingin masuk ke rumah. Sampai jumpa besok.” Ucapku sambil berlari memasuki halaman rumahku yang kecil sambil tersenyum melambaikan tangan.

Hari-hari kami habiskan dengan bersenang-senang. Sampai ketika bencana datang, bencana yang hanya kami yang merasakannya. Perusahaan tempat orang tuaku memiliki permasalahan bisnis yang rumit dengan beberapa kontraktor, hingga kebangkrutan di depan mata. Kebetulan Ayahku dan Ayah sahabat kecilku itu bekerja di satu naungan perusahaan.

Di saat genting seperti itu, Ayahku melakukan hal bodoh yaitu sebuah kecurangan yang tak bisa kuterima begitu saja. Ayahku melahap uang perusahaan dengan alasan kesejahteraan keluarga. Hal yang tak bisa kuterima yaitu Ayahku menjadikan Ayah sahabat kecilku kambing hitam. Penggelapan uang tertuduh pada Ayah sahabat kecilku. Aku mengetahui semua kebusukkan itu ketika aku mulai dipaksa melupakan sahabat kecilku dan pindah ke luar kota. Tentu saja aku mengelak.

“aku tak bisa mengikuti apa kata Ayah.” Ungkapku sambil menangis.

“ini demi kebaikanmu, demi keselamatan teman Ayah yang tertuduh itu.” Ucap ayahku dengan menatapku dalam-dalam.

“kalau gitu, Ayah akuilah kesalahan Ayah.” Balasku dengan memohon.

“tidak bisa, kau mau Ayah dipenjara? dan Ayah nggak mau kamu dan ibu terkena getahnya.” Balas Ayahku dengan memohon kepadaku.

Aku pergi menghindari kelanjutan obrolan itu menuju ke menara yang biasa aku kunjungi untuk melihat kembang api dan bintang. Berharap ada titik temu yang bisa dipilih. Namun sayangnya, otakku yang masih 12 tahun belum mengerti harus melakukan apa. aku hanya bisa menangis dan menangis sekuat tenaga. Rasanya langit pun merasakan hal yang sama, ia menurunkan hujan dan guntur secara bersamaan.

Esok hari yang penuh kemarahan aku bertemu dengannya untuk mengucapkan selamat tinggal. Dia mendatangiku dengan sepedanya dan dengan wajah yang terlihat ceria. Padahal aku tahu, dia hanya pura-pura tegar dan ceria di depanku, namun sebenarnya hatinya remuk tak terbaca, karena Ayahnya mulai ditahan, dia dan Ibunya menanggung semua hal yang menyakitkan yang seharusnya bukan mereka yang menanggung. Mungkin inilah penebusan dosa yang sudah diperbuat Ayahku.

“kenapa kamu ingin menemuiku?” Tanyanya duduk di sebelahku.

“aku ingin berpamitan.” Jawabku.

“kamu mau pergi ke mana?” Tanyanya lagi, senyumnya menciut.

“aku mau pergi keliling dunia, seperti yang aku impikan.” Jawabku lagi sambil tersenyum lebar seakan tak terjadi apa-apa.

“bisakah kamu jelaksan dengan bahasa yang aku pahami?” Tanyanya lagi dengan raut wajah yang berantakan.

“aku ingin kamu melupakanku! kamu harus mengejar mimpimu juga kan. Maka dari itu, kita jalan di jalan kita masing-masing.” Kukatakan dengan menahan air mataku.

“aku tidak akan bisa melupakanmu. Apa kamu berencana melupakan aku, melupakan kebahagiaan kita?” Matanya memerah berkaca-kaca.

“emm, aku akan melakukannya. Jadi tolong lupakan aku! Aku pamit. Selamat tinggal Lubis.” Ucapku sambil tersenyum dan mengucapkan namanya untuk yang terakhir kali kita bertemu.

Sepuluh tahun sudah berlalu, aku tak pernah mengingatnya lagi setelah itu. Aku menjadi orang asing lagi bagi duniaku. Walau pun 2 tahun setelahnya, ayahku akhirnya mau bertanggung jawab atas perbuatannya, dan aku dan ibu hidup dengan sederhana. Ayah Lubis bebas dan aku membiarkan diri ditelan bumi. Aku tak pernah mau menemui dia lagi, alih-alih karena aku tak punya keberanian dan terlalu membenci diriku sendiri.

Tepat cerita ini aku uraikan, ketika aku mulai merabah lagi. Mengulik ingatan-ingatan kecilku ketika aku menatap suatu wajah di sebuah pameran lukisan yang sebenarnya belum kutahu wajah itu siapa namanya, namun wajah itu mengingatkanku akan dirinya. Aku hanya membuka album semasa SD ku, album masa laluku yang sebenarnya telah kusembunyikan di dalam kotak yang usang dan kutaruh di atas lemari. Entah mengapa aku ingin membukanya setelah satu dekade lamanya, itu sama saja membuka luka lama yang masih menganga. Aku menyadari, aku telah membunuhnya dengan sepenuh hatiku.


Cirebon, 04 Mei 2021

Nantikan kelanjutan cerita Lubis.

Tolong apresiasi cerita ini, silakan jika ada yang ingin memberikan komentar atau saran.

Jadilah pembaca yang baik. Jangan memplagiarisme cerita ini!

Terima kasih 😊


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen "Malam Merah Jambu"

MENGENAL LEBIH DEKAT PENATA WAYANG GEGESIK, CIREBON

SOSOK DALANG WAYANG KULIT GEGESIK